TUGAS

 TUGAS 2 TINJAUAN SENI DAN DESAIN 

 Pembuatan Resume dari materi Fungsi Seni

 

 Fungsi Seni Secara Budaya

    Istilah budaya telah umum diketahui secara keliru. Budaya, kebudayaan, seolah-olah hanya terkait dengan kesenian, seperti seni rupa, tari, musik, sastra, dan pertunjukan. Ditegaskan oleh para ahli antropologi, kekeliruan tersebut berkait dengan cara mengartikan kebudayaan sebagai sesuatu yang sempit, hanya meliputi “bagian-bagian yang indah dari kehidupan manusia” (Harsojo, 1984: 93; Koentjaraningrat, 1990: 179-180), atau “the general body of the arts” (Williams, 1961: 61).

    Ada Beberapa Unsur dalam Budaya, Unsur kebudayaan yang pertama berupa ide, gagasan, norma, peraturan, dan nilai. Sifatnya abstrak, mujarad, karena berada dalam alam pikiran warga masyarakat. Unsur kedua adalah Serangkaian kegiatan manusia dalam persitindakannya (interaksi) dengan manusia lain. Kompleks kegiatan ini berpola pada unsur pertama, sistem gagasan. Unsur ketiga memiliki wujud yang lebih nyata, kasat mata, yaitu semua hasil kegiatan manusia, berupa benda hasil karya manusia. Ini merupakan unsur kebudayaan yang paling nyata, biasa disebut sebagai kebudayaan fisik. Di antara tiga unsur kebudayaan yang telah disebutkan tadi, hasil kebudayaan fisik inilah yang paling mudah untuk diamati, diteliti.

Seni rupa adalah bagian dari kebudayaan fisik ini, karena semua hasil kegiatan bidang seni rupa memiliki tampilan rupa yang kasat mata. Kebudayaan fisik, sebagai hasil kompleks kegiatan, tetap terkait dengan sistem gagasan. Sistem gagasanlah yang mendasari semua kegiatan dan hasil kegiatan manusia. Hal ini berlaku dalam semua hasil gubahan seni

Penjajahan Gaya Baru  

    Masyarakat Jepang, sekalipun mereka telah mampu mengembangkan diri dengan aneka temuan teknologi tinggi, mereka tetap mengikatkan diri dengan aneka seni tradisi milik mereka. Sehingga, mereka dikenal oleh dunia luar sebagai negara yang modern sekaligus tetap memiliki nilai penghormatan terhadap milik dasar mereka. Budaya membaca yang mereka kondisikan dalam kehidupan sehari-hari, telah memberi andil besar dalam pengembangan jenis kesenian milik mereka. Kabuki, ikebana, dan kimono adalah sedikit di antara nama-nama jenis kegiatan dan hasil seni yang kemudian mempopulerkan nama Jepang. 

    Dari budaya membaca, berkembanglah salah satu jenis kegiatan seni rupa, komik, yang kerap dianggap enteng keberadaannya oleh sementara masyarakat seni. Komik karya para seniman Jepang, ditunjang oleh keberadaan teknologi cetak yang telah mereka kembangkan, merebak memasuki hampir semua lapisan masyarakat baca dunia modern ini. Indonesia sebagai salah satu kawasan yang “dijajah” oleh budaya komik Jepang. Anakanak Indonesia masa kini lebih mengenal tokoh-tokoh cerita Jepang ketimbang tokohtokoh cerita milik bangsa sendiri.

    Dunia animasi, dunia gambar bergerak, pun telah demikian maju. Menyikapi budaya animasi yang selama ini dianggap sebagai produk jenis kartun untuk konsumsi anak-anak semata, ternyata harus lebih hati-hati. Serbuan budaya luar yang telah diracuni berbagai niat dan upaya buruk dalam mempengaruhi generasi muda, begitu banyak ditemukan dalam produk kartun dan animasi. Sekali lagi, penjajahan budaya melalui jembatan dunia maya sangat sulit dibendung.

Seni dan Martabat Bangsa

    Ada kecemburuan yang sangat mendasar terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat, bahkan oleh pemegang tampuk pimpinan negara. Prestasi bidang olah raga kerap mendapat sambutan hangat dari banyak pihak. Berbagai hadiah dan dukungan langsung kerap diterima oleh para pesohor olah raga. Tetapi, para pencapai prestasi bidang seni, begitupun bidang sains dan sosial, prestasi mereka tidak pernah mendapat dukungan yang wajar dari masyarakat dan pemerintah. Martabat bangsa seolah-olah hanya bisa ditegakkan dengan prestasi olah raga. 

Keris, batik, wayang, gamelan, dan tari kecak misalnya, adalah bentuk-bentuk prestasi masyarakat yang tak pernah mendapat perhatian yang bijak. Boleh jadi prestasi tersebut telah menjadi ciri khas Indonesia, yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Pengenalan benda dan kegiatan tersebut begitu kental dengan kedatangan tamu asing ke Indonesia.

Wayang kini telah diakui sebagai hasil budaya masyarakat dunia oleh UNESCO. Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan wayang sebagai bagian dari kehidupan seni masyarakat Indonesia, telah juga menjadi bagian tak terpisahakan dalam peta kesenian dunia.

WAYANG GOLEK PURWA

    Wayang bisa berarti cerita. Wayang adalah pertunjukan. Wayang juga adalah peraga (tokoh) dalam cerita.Wayang, seperti kata para ahli, adalah bayangan. Kalau istilah tersebut diartikan secara terbatas, sebagaimana wujud wayang kulit, pengertian tersebut menjadi tidak lengkap. Wayang bukan sekadar bayangan dalam kelir (layar). Wayang adalah bayangan tentang kehidupan manusia, gambaran kehidupan manusia.Beberapa batasan tentang pengertian wayang akan dikemukakan dalam bahasan berikut ini. Ismunandar (1988: 9) menyebutkan bahwa kata wayang berasal dari bahasa Jawa krama ngoko yang berarti perwajahan. Kemudian dijelaskan, perwajahan tersebut terdiri atas barang (juga yang lainnya) yang terkena cahaya (penerangan).

Wayang, sebagai “boneka” atau peraga cerita dalam pertunjukan, banyak jenisnya. Dalam catatan naskah-naskah lama, di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, seperti disebutkan oleh Guritno (dalam Ismunandar, 1988: 62) ada sekitar 40 jenis wayang. Setengah di antaranya telah punah. Sebagian masih “hidup” dalam lingkungan masyarakat yang sangat terbatas. Sisanya, beberapa jenis masih bisa bertahan sebagai alat hiburan dan pendidikan yang didukung oleh masyarakat pencintanya.

    Wayang kulit, terutama wayang kulit purwa, merupakan salah satu jenis wayang ciptaan masa lalu yang bisa bertahan hidup dan tetap memiliki masyarakat pendukung hingga masa kini. Wayang jenis ini bisa kita temukan di daerah-daerah Jawa (terutama), Sumatera (Palembang), Kalimantan (Banjar), Bali, dan Lombok. Wayang kulit purwa berlatar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata. Di samping itu, ada juga jenis wayang kulit lain yang berlatar belakang cerita panji, babad, sejarah, semi sejarah, maupun kisah agama. 

Lahirnya wayang golek adalah jawaban atas keinginan mempertunjukkan wayang pada siang hari (Jajang, 1995: 62). Istilah wayang golek, pada awalnya muncul dari sebutan terhadap boneka yang selalu dihadirkan pada setiap akhir pertunjukan wayang kulit purwa. Boneka ini dimainkan sebagai penutup acara yang maksudnya untuk mengajak penonton nggoleki, mencari makna isi pertunjukan yang telah ditampilkan oleh dalang (Amir, 1991: 79; Wibisono, 1974: 82). Dari kata nggoleki itulah muncul sebutan wayang golek. Wayang golek awal ini, sebetulnya hanyalah sebuah boneka kayu yang sama sekali bukan tokoh cerita. Ia hanya sebuah boneka berbentuk model wanita, tidak menunjuk kepada salah satu tokoh dalam cerita Ramayana maupun Mahabharata (Yudoseputro, 1994)

Wayang golek purwa adalah sebutan untuk wayang golek yang berlatar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata. Wayang golek inilah yang hingga kini masih bertahan hidup serta tetap mendapat dukungan masyarakat pencintanya. Bahkan, karena ketekunan dan kreativitas dalangnya, pertunjukan wayang ini bisa menjadi kecintaan para peminatnya. Seperti wayang kulit purwa, wayang golek purwa dipentaskan dengan cerita babon Ramayana dan Mahabharata. Cerita-cerita pakem ditampilkan dengan menggunakan campuran bahasa Jawa dan Sunda. Bahasa Jawa digunakan dalam menyampaikan bubuka, bagian pendahuluan, maupun pada pengantar babak per babak. Selebihnya, para dalang menggunakan bahasa Sunda.

Perubahan atau pengayaan jenis dan bentuk wayang terus berlangsung. Bila ditinjau dari sisi waktu, wayang adalah merupakan jenis kesenian masa lalu dan masa sekarang. Wayang tetap awet. Berbagai generasi masyarakat pendukungnya berubah-ubah, wayang tetap dipertahankan. Bahkan, pengolahan jenis, bentuk, dan pokok ceritanya terus dilakukan. Jarang ada jenis kesenian yang bisa bertahan seperti wayang ini. Fungsi cerita wayang sebagai tuntunan dan tontonan ternyata bisa menjadi benang merah yang mengikat antara jenis kesenian ini dengan pencintanya pada berbagai masa. 

Pada pertumbuhannya wayang golek mengalami perubahan-perubahan. Awalnya, gaya Cibiru dengan segala kekhasannya, menjadi contohan untuk para juru golek yang ada di luar Cibiru. Oleh karena itu, selanjutnya muncul penyempurnaan-penyempurnaan, terutama pada bagian rautnya. Raut wayang golek Cibiruan yang cenderung kurang membulat, dengan hiasan yang lebih mengarah kepada warna prada, brom, atau kuning emas, dipadu dengan warna hitam dan hijau, dianggap perlu mendapat perubahan. 

Merebaknya pengembangan bidang pariwisata berpengaruh juga kepada penciptaan raut wayang golek yang baru, yaitu raut golek yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan warung-warung seni. Golek Cokelat adalah salah satu hasil penyesuaian raut wayang golek purwa dengan cara pewarnaan pada patung-patung kayu di Bali. Kemudian, Golek Batik yang terpengaruh oleh model hiasan pada kain batik. Motif hias pada bagian kepala golek digarap dengan cara menerapkan teknik menggambar motif batik, teknik cecek. Raut wajah wayang golek jenis ini ditampilkan seperti tiruan wajah manusia nyata. Hal ini sesuai dengan fungsi boneka yang hanya dijadikan sebagai hiasan belaka, bukan sebagai boneka golek pertunjukan. 

    Wanda adalah istilah perwajahan atau raut khusus pada wayang. Tokoh-tokoh dalam cerita wayang yang memiliki wanda adalah tokoh yang populer atau disukai penonton, dan mempunyai banyak kisah sehingga sering ditampilkan. Sedangkan tokoh yang jarang ditampilkan, sehingga kurang dikenal, tidak memiliki raut khusus (Sagio dan Samsugi, 1991: 18; Widodo, 1990: 123) 

Ada tiga istilah raut yang memiliki pengertian berbeda: raut peranan, raut tampang, dan raut wanda atau raut khusus (Jajang, 1995: 10-27). Kata raut digunakan untuk menunjuk segi rupa golek. Sebuah boneka golek secara umum memiliki dua sisi sebutan pada rautnya, yaitu raut peranan dan raut tampang. Raut peranan menggambarkan peranan tokoh golek: peranan sebagai satria, ponggawa, buta, dan panakawan. Misal, tokoh Arjuna peranannya sebagai satria; Gatot Kaca sebagai ponggawa; Arimba sebagai buta; dan Cepot sebagai panakawan. Di samping itu, raut peranan pun kadang-kadang menunjukkan peranan ganda, seperti tokoh Yudhistira berperan sebagai satria-raja; Duryudana sebagai ponggawa-raja; Arimbi sebagai buta-putri (raseksi); dan (dalam cerita carangan) Gareng sebagai panakawan-raja Raut tampang menggambarkan watak masing-masing tokoh. Seperti watak santun, pemarah, cergas, licik, patuh, pengabdi, pelucu, dan banyak lagi, Misalnya, tokoh Kresna memiliki raut-tampang satria-raja yang cergas; Bima ponggawa-satria yang jujur; dan Sangkuni satria-ponggawa yang culas. Oleh karena itu, raut tampang adalah raut peranan ditambah penanda khusus yang menggambarkan watak pribadi tokoh.

    Nilai estetis wayang tidak bisa didekati hanya sekadar menggunakan patokan estetika Barat. Estetika Barat cenderung hanya membicarakan masalah unsur karya seni yang kasat mata. Unsur estetis seperti garis, bidang, warna, ruang, barik, blabar, dan keseimbangan yang ada dalam boneka golek, misalnya, bisa dianalisis berdasarkan konsep estetika Barat. Tetapi, pada kenyataannya, semua jenis kesenian Timur, lebih khusus yang tradisional, erat juga kaitannya dengan keindahan yang tidak kasat mata. Contohnya, nilai-nilai karya seni yang bersifat perlambangan. Padahal, keindahan tak kasat mata ini sama sekali diabaikan dalam seni rupa Barat.

Secara fisik, raut wayang pada umumnya, “tidak proporsional” bila ditinjau dari sisi teori seni rupa Barat. Perbandingan keseimbangan bagian tubuh seperti ukuran besar kepala, panjang lengan, dan tinggi serta besar tubuh, menunjukkan konsep proporsi yang lain. 

RAUT PERANAN SATRIA 

    Raut peranan satria terdiri atas satria, satria-dewa, satria-raja, satria-pandita, dan satriaponggawa. Ada juga raut peranan seperti satria-dewa-ponggawa. Seperti telah diuraikan pada bagan pakem raut golek, raut peranan tokoh golek satria terdiri atas tiga kelompok: satria lungguh, satria ladak tumungkul, dan satria ladak dangah. Ketiga kelompok raut peranan ini masing-masing memiliki ciri yang hampir sama, ciri tokoh satria. Ciri tersebut adalah mata sipit, gabahan, kedelen, atau biasa juga disebut mata jaitan; alis tulis, mecut, ngajeler paeh: alis yang diterapkan juga pada raut peranan tokoh putri (kini menjadi trend tiruan model alis para wanita Indonesia terkenal, seperti para artis). Oleh karena itu, tokoh putri dikelompokkan juga sebagai golongan satria.

RAUT PERANAN PONGGAWA 

Ponggawa adalah angkatan bersenjata, penjaga keamanan. Raut peranan ponggawa, sejalan dengan tugasnya sebagai “pengawas”, memiliki ciri khusus ponggawa. Pola mata, alis, hidung, kumis, rerengon (garis dahi), dan hiasan kepala bagian depan, merupakan penanda raut peranan tersebut yang paling tampak. Sikap kepala dan warna wajah, seperti pada raut peranan satria, menunjukkan watak tokoh ponggawa. 

RAUT PERANAN BUTA 

Buta atau raksasa, dalam cerita wayang, terdiri atas buta biasa dan buta garang. Buta biasa adalah jenis buta yang ukuran tubuhnya hampir sama dengan tokoh ponggawa badag, misalnya Bima dan Duryudana. Ciri keraksasaannya bisa dilihat pada pola gigi yang menonjol, bertaring. Banyak tokoh ponggawa yang bisa dikategorikan ke dalam kelompok ini. Tetapi, karena ciri keponggawaannya lebih menonjol, tokoh seperti itu lebih tepat bila disebut ponggawa-buta. Dalam artian, ciri buta tampak pada bagian giginya saja. 

RAUT TAMPANG PANAKAWAN PANDAWA 

Seperti disebutkan di atas, sebuah pertunjukan wayang golek selalu dibumbui tampilan para pelucu, yaitu panakawan. Melalui panakawan, dalang bisa mengolah cerita yang lucu bahkan yang menyentil penonton. Panakawan Pandawa memiliki raut yang khusus. Raut mereka --terdiri atas Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng-- tidak bisa disatukelompokkan karena masing-masing tidak memiliki ciri raut kelompok seperti satria, ponggawa, atau pun buta. 

NILAI ESTETIS NON-LIHATAN 

    Keindahan raut yang tidak kasat mata (niskala, non-lihatan, non-visual) hanya bisa dirasakan oleh penikmat yang memiliki latar pengetahuan dan akar budaya tentang cerita wayang. Para penikmat yang lebih mengutamakan kenikmatan lihatan (visual) hanya bisa menangkap unsur-unsur lihatan seperti garis, bidang, barik, warna, isi, dan blabar. Keindahan yang niskala itu terutama bisa dirasakan, misalnya, dalam kesesuaian watak dengan gambaran simbolis yang muncul pada sikap kepala, warna wajah, tebal garis alis, bentuk hidung, tinggi tubuh, bentuk mata, ukuran mulut, kumis, gigi, dan garis-garis penguat (seperti rerengon). Tokoh yang pemberang, misalnya, digambarkan dengan mata melotot (kedondong), rerengon turih, hidung besar, kumis besar, warna wajah yang merah cabai, dan sikap kepala mendongak. Bahkan sering juga ditambah taring. Akan terasa berbeda dengan tokoh yang santun, seperti rata-rata satria, yang bermata tulis, hidung mungil, warna wajah putih, alis tulis, mulut biasa, dan sikap kepala menunduk. Gambaran budaya keraton Jawa, terutama dalam menampilkan cara hormat, tata-titi, sopan santun seseorang, adalah dengan sikap menunduk, mata setengah terpejam. Siap mendengar apa pun yang dibicarakan orang, tanpa perlu melihat atau menentang wajah. Berbeda dengan gambaran watak sombong yang ditampilkan dengan sikap menengadah, mata melotot, wajah bergaris kasar, dan rona muka merah. 

Komentar