RESUME
TINJAUAN
SENI DAN DESAIN
IHWAL
KARYA
SENI
RUPA
"REMEH"
Karya Seni Rupa “BEYOND THE
PURE ART”
Banyak
karya seni rupa yang tidak mendapat perhatian khusus dari para teoretisi seni
rupa. Hal itu dikaitkan dengan anggapan bahwa karya-karya tersebut dianggap
bukan karya adiluhung, yang menggambarkan latar belakang pemikiran akademisi.
Karya-karya seni rupa jenis ini dianggap sebagai karya seni remeh (meminjam
istilah yang biasa digunakan mengingatkan secara teoretis oleh Prof. Sudjoko),
yaitu karya-karya yang dibuat oleh para pedesa (ini juga istilah yang sama dari
Prof. Sudjoko). Para pekota, “lawan” pedesa, telah membangun gap theory yang
membentengi lingkaran teori seni rupa akdemis-otodidak. Tudingan para pekota
selalu terarah kepada nihilnya nilai estetis karya para pedesa, dan dalam
pandangan mereka, pekerjaan para pedesa tidak pernah terorganisir secara
teoretis-akademis.
Beberapa
pejuang teori yang ingin membangun teori estetika Nusantara, keindonesiaan, di
antaranya Prof. Sudjoko dan Dr. Sanento Yuliman yang tulisan-tulisannya kerap
mempertanyakan tentang hal itu. Kedua pemikir tersebut telah almarhum. Tetapi
sejumlah tokoh angkatan di bawahnya seperti Jim Supangkat, dan Yustiono, masih
terus melanjutkan perjuangan tersebut. Pada bagian tulisan ini dikutipkan
secara utuh dua makalah yang ditulis Prof. Sudjoko dan Dr. Sanento Yuliman. Ini
dimaksudkan untuk memperkaya bahan wacana yang agak berbeda landasan pikirnya
dibanding teori umum yang telah dicomot tanpa saringan dari teori seni rupa
Barat.
1.
MENGULAS SENI NUSANTARA
Panitia
telah minta saya berbicara “sebagai pendidik”. Jadi harap maklum saja kalau
uraian berikut sesekali juga menyentuh pendidikan. Dampak Kata Orang sekarang
tidak tahu bahwa kata KRITIK itu disontek dari bahasa Barat (catatan kaki yang
diubah: tanpa paham bahasa Barat, kita sekarang berhak menjadi sarjana, dan
dosen. Dulu sih mustahil). Yang tahu pun mungkin tidak tahu dari kata apa:
critic, critiek, kritisch, critique, critisize, critical, criticism .... yang
maknanya seperti bunglon. Lalu apa itu ‘kritis’, ‘kritisi’ dsb. Saya sudah
ketemu sarjana2 yang pusing karenanya. Jangan tanya lagi dosen muda, mahasiswa
ingusan, dan pembaca koran. (Tentu saja yang dipersoalkan DIALOG ini bukan
hanya tulisan, atetapi pembaca pers juga). Kita lebih suka percaya kepada
takhyul “Ah masa nggak tahu? Semua orang kan sudah tahu”.
Panitia
telah minta saya berbicara “sebagai pendidik”. Jadi harap maklum saja kalau
uraian berikut sesekali juga menyentuh pendidikan.
·
Dampak Kata
Orang
sekarang tidak tahu bahwa kata KRITIK itu disontek dari bahasa Barat (catatan
kaki yang diubah: tanpa paham bahasa Barat, kita sekarang berhak menjadi
sarjana, dan dosen. Dulu sih mustahil). Yang tahu pun mungkin tidak tahu dari
kata apa: critic, critiek, kritisch, critique, critisize, critical, criticism
.... yang maknanya seperti bunglon. Lalu apa itu ‘kritis’, ‘kritisi’ dsb. Saya
sudah ketemu sarjana2 yang pusing karenanya. Jangan tanya lagi dosen muda,
mahasiswa ingusan, dan pembaca koran. (Tentu saja yang dipersoalkan DIALOG ini
bukan hanya tulisan, atetapi pembaca pers juga). Kita lebih suka percaya kepada
takhyul “Ah masa nggak tahu? Semua orang kan sudah tahu”.
Kata
‘kritik’ memang disebut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Sialnya,
keterangannya justru tidak cocok dengan maunya ‘kritik’ seni. (Tetapi yang tahu
kan cuma segelintir ‘orang seni’, bukan?). Ketika menyusun KUBi, pak
Poerwadarminta (dan kita) memang belum pernah mendengar sebutan ‘kritik seni’.
Ini baru lho!
·
Sontek
Orang
(berapa gelintir?) yang tahu kritik seni di Barat bisa berkata, “Maksud kritik
seni itu sebenarnya begini”. Dan “begini” itu yan nebeng maksud Barat itu,
lengkap dengan aneka istilahnya dan teorinya (asal tidak salah mengerti).
Memakai tembung (catatan kaki yang diubah: tembung [Jw] bisa berarti sebuah
kata, sekumpulan kata, bahkan juga bahasa) tebeng biasanya memang sekaligus
menyedot isinya asal sono juga. Tentu, sepanjang yang dapat kita cerna (Maklum
bahasa Barat ..). Itu tentang arti ‘kritik seni’.Dan arti ‘disain’? Dalam suatu
bincang disain di ITB yang diahdiri peminat dari berbagai kota, Solichin
Gunawan, seorang ahli, menjawab kira2 begini: “Wah, susah dijawab. Tiap tahun
artinya berubah. Maka itu kita harus terusmengikuti literatur Barat terbaru.
Kalau tidak, kita akan ketinggalan terus”.
Nyontek
atau nebeng memang sangat perlu, sebab sering menguntungkan. Tetapi kalau tiap
kali otak kita dibuat sesat atau diobrak-abrik oleh otak sibule, sudah
waktunyalah kita mempertanyakan kedaulatan kita dalam berpikir.
Selama
ulah sontek kita masih terus latah saja, pantas juga kita mempertanyakan kadar
kedaulatan bangsa kita. Tetapi ada satu cara mengatasinya: ambil saja tembung
pribumi. Misalnya ULAS SENI. Ini mendorong kita mencipta maknanya sendiri, dan
tidak menggiring naluri kita untuk bertanya kepada pakar manca (lalu manggut2
kebegoan). Hanya yang sudah terpaku pada tembung ‘kritik seni’ saja yang akan
bertanya, “Apa itu ulas seni?”. Apa? Jawabanya kita susun sendiri saja menurut
pengalaman dan tanggung jawab kita yang terbaik, dan menurut kenyataan dan
keperluan rakyat kita sendiri. Tetapi ini minta kemauan untuk berpikir sendiri,
melihat kenyataan dunia Nusantara sendiri, dan mempercayai bahasa kita sendiri.
Jadi kalau nanti simanca datang bertanya tentang kritik seni kita, ya jawab
saja “Saya tidak tahu maksud Anda. You mean ulas seni?” Dan kalau dia bertanya,
“What ulas seni?”, ya kita ajarilah dia. Begitu pula kalau dia bertanya apa itu
gubah, apa itu reka, cipta, rekacipta, bercipta, ciptawan, ciptawi, pecipta,
keciptaan, perciptaan, sucipta, adicipta, ....
·
Seni Baru
Ada
kata lama yang ketambahan makna baru: SENI. Maknanya yang lama tetap berlaku,
misalnya ‘air seni’. Makna barunya muncul sekitar tahun 1950, yang kemudian
menetaskan tetembung seperti seperti ‘seniman’, ‘kesenian’, ‘pendidikan seni’,
‘film seni’, ‘nyeni’, dan belakangan ini ‘kritik seni’. Anak kita percaya saja
bahwa semua ini sudah ada sejak baheula, padahal bikinan baru, dan saat lahir juga
membuat orang bertanya, “Apa itu seniman? Jago kencing?”
Orang
Belanda sendiri yang mengajar ‘seni rupa’ di sini resminya tidak pernah
menggunakan istilah kunstcritiek (= kritik seni). Nama matakuliahnya saja
Kunstbeschouswing (‘Tilik Seni’). Dengan sendirinya mahasiswa tidak diajari
‘ngritik’. Lalu dengan mudiknya guru2 Belanda (yang terakhir pergi tahun 1960)
kita mulai banyak membeo sang adidaya. Jadi kita bilang ‘apresiasi seni’; tidak
misalnya ‘tanggap seni’ atau ‘tilik seni’. Sementara itu sejak 1970an menggema
tembung ‘kritik sastra’, ‘kritik seni’, dan ‘kritik film’. Semua ingin menyamai
krotak-kritik di manca berikut nekateorinya sekalian. Otak kita ‘membayar hak
cipta’ sono dengan menyedot aneka ‘kata orang’ sono, peristilahan, carapikir,
carapilih, caranilai, perilaku di sono dll, tentu sejauh, sesempit, atau
sebenar yang kita ketahui.
Makanya
‘sikampus’ bersikeras bahwa sebelum abad 20 di Nusantara belum ada ‘disain’ dan
‘disainer’. Yang ada cuma rakyat gugon (takhyulan) yang membuat barang cuma
pakai bantuan jampi2 dan bau kemenyan. Pokoknya tanpa otak, ilmu disain maupun
ergonomics. Pesombong ini sebenarnya tak paham bahasa asing, cuma membeo
gurunya saja, dan tidak pernah memeriksa rerupa buatan rakyat kita, saking
keblingernya dia oleh yang serba Barat.
·
Kritik Senirupa
Kritik
tari ditulis oleh penari. Kritik musik ditulis oleh pemusik. Kritik sastra oleh
sastrawan. Kritik arsitektur oleh arsitek. Kritik sandiwara oleh pesandiwara.
Dan kritik senirupa? Wah, ini mah bukan kerjaan perupa. Nggak wajar dong kalau
perupa menulis. Biar saja orang lain yang bertempur dengan mesin tik.
Penghasilan mereka memang sangat kecil (dibanding dengan harga lukisanku), tapi
dia toh dapat ‘nama’ dan ‘gengsi’, bukan? Dan kita toh perlu orang2 ‘idealis’
bukan, yang menulis “demi sejarah seni dan nama senirupa Indonesia di mata
dunia” dan sebagainya. Pokoknya penulis itu tak usahlah ikut2 an mimpi
“BuummM!”, sebab itu bukan nasibnya, bukan takdirnya, dan rezeki hanya bagiku
Yang
merasa wajar saja menggunakan peristilahan pribumi, bahkan kedaerahan, hanya
kritik tari dan musik. Yang lain suka mengganti nama2 pribumi dengan nama2
Barat. Dan yang mengulas seni baru maupun seni adat? Juga kritik tari dan
musik. Kritik sandiwara dan bangunan terkadang bisa begitu juga. Lalu siapa
yang tidak pandang bulu, yang enak saja menulis tentang seni di aneka daerah
Nusantara? Lagi2 kritik tari dan musik.
·
Seni Rupa
Dalam
‘kritik seni’ kita, seni rupa itu sejenis lukisan berbingkai. Pokoknya yang
seperti di sonolah. Hanya kadang2 dia itu patung, gerabah, dan gambar pena,
itupun harus yang ‘murni’. Buatannya mesti bisa dicap dengan istilah membarat,
misalnya ekspresionis, surealis, dan sebagainya.
Seni
rupa itu selalu bikinan ibu kota, itupun tiga saja: Jakarta, Bandung, dan
Yogya. Surabaya bisa juga dirangkul. Entah Solo. Kalau Semarang, Pekalongan,
Manado, Ambon dan lain-lain itu sih “tidak dianggep”. Oleh siapa? Tentu saja
oleh kaum ‘trikota’ tadi. Kalau ditanya, alasannya ‘mutu’. Dan mutu apa? Tentu
saja mutu jenis senirupa yang dirajai triquota. Pembuat senirupa itu
selalu bukan-jelata. Yang nyleneh cuma seniman Bali. Rata2 pedusun semua.
Tetapi itu perkara kecil. Bikinannya sebut saja lukisan Bali. Jadi temannya di
Nusantara cuma lukisan Jawa.
·
Serbarupa
Orang
yang belajar seni rupa di lembaga tinggi kita dapat memilih bidang yang
kebetulan disukai ‘kritik seni rupa’. Tetapi dia juga bisa memadaikan diri
bidang tenun, batik, ukir, iklan, rekaruang, rekabenda, rekabuku, pariwara,
dll. yang telah atau bakal ada. Saya sendiri mimpi jurusan rekaswatur atau
computer design (catatan kaki yang diubah: Calon gurunya sudah saya siapkan:
Rina Wayanti. Mulai tahun 1992 dia akan menekuni Computer Design dulu di Ohio
State University). Singkat kata, dalam pendidikan kita, SENI RUPA itu sudah
jauh lebih luas dari yang selama ini dimaksud oleh
pameran/diskusi/sejarah/hadiah/kritik seni. Aneh tapi nyata.
·
Serbamoh
Cuma (kecuali Yusuf Affendy), mereka itu --dan hampir semua sarjana senirupa lain-- tidak doyan menulis makalah dan artikel, bahkan menulis diktat juga tidak. Di sinilah sumber lain dari ‘masalah kritik seni kita’.
·
Virus Lain Bernama Mohteori
Ini
menulari sebagian ‘dosen praktek seni’ (guru melukis, mematung dll). Nalarnya
begini: teori itu bukan kerjaan ‘guru praktek’, termasuk teori tentang
bidang-praktek mereka sendiri. Jadi kalau dikirim ke luar negeri, mereka hanya
mau ‘kerja praktek’ melulu. Kembalinya tentu saja tanpa ijazah tambahan Singkatnya,
adat mohtulis-mohteori-mohbaca inilah biang lain dari masalah ulas seni kita.
Memang, belakangan ini muncul momoknya, yaitu syarat naik pangkat di perti
negeri. Momok kertas? Kita lihat saja nanti.
·
Televisi
Hampir
tiap malam TVRI menayangkan seni rupa, sebagai warta pendek maupun tayangan
panjang. Misalnya tentang tenun, batik, busana, anyaman, kerang, kulit, kue
besar, perabot rumah, bunga kering, karangan bunga, giok Cina, lomba patung es,
keris, topeng, wayang, lukisan bulu, lukisan paranormal, dan banyak lagi dari
seluruh Nusantara. Pewarta TV, mungkin karena tidak pernah belajar teori seni
memBarat, leluasa saja mengejar rerupa yang menarik dan elok Surat kabar pun
menampakkannya. Di situ ada dua jenis tulisan seni: yang satu ‘kritik seni’,
yang lain seperti yang di TV tadi.
·
Kajirupa
Seni
rupa itu ditilik lewat banyak jurus. Yang barusan tadi jurus sejarah. Lalu ada
jurus antropologi, jurus sosiologi, jurus nafkah rakyat kecil, jurus
pembangunan desa, jurus pariwisata, jurus ekspor nonmigas, jurus pabrik,
pokoknya banyak jurus. Masing2 punya patokannya, maksud-tujuannya, caranya,
kebiasaannya, dan penilaiannya sendiri. Pokoknya kalau ingin menjawab ‘apa itu
seni rupa?’, jangan belum apa2 sudah sok mongkok, mentang2 kita ini terpelajar
dan pekotabesar.
·
Kritik
Kritik
senirupa hanya mengurusi sebagian kecil senirupa di Nusantara (biarpun yang
paling besar mulut), alias tidak berwawasan Nusantara. (Jadi berwawasan apa?)
Maka itu ada baiknya nama diganti dengan bahas seni, tilik seni atau ulas seni
saja, lalu kita isi muatannya. Bertanya “what’s in name?” memang gampang.
Tetapi menjawabnya? .... Bangsa kita punya jawab sendiri. Kita renungi saja
selera bangsa kita sekarang: cara kita menamai segala sesuatu, dan mengubah
nama-pribumi segala sesuatu, khususnya cara pekota.
·
TV dan Pers
Dengan
demikian dewasa ini peranan pers dan TV menjadi paling menentukan (entah harus
sampai kapan). Segala jenis uraian senirupa masih harus ditumpahkan di situ.
Kalau di negara maju tidak begitu, ya itu karena negara itu sudah maju. Kita
pahamilah ini. Janganlah kita suka mimpi mau seperti sono padahal landasannya
tidak ada. Yang perlu disajikan TV/pers ialah ilmu seni, tanggap seni, dan ulas
seni, secara terpisah maupun tergabung Ilmu seni berisi pengetahuan selintas
mengenai aneka istilah, nama, cerita, adat, sejarah, guna, kiat, nafkah dll.
Tanggap seni memberi pengantar dalam acara melihat, menggunakan, menghargai,
dan membuat rerupa. Ulas seni membimbing pembaca/penonton dalam menilai seni
yang sedang/baru/akan dipamerkan, diberitakan, dibangun dsb. Sajiannya mesti
membuka mata, membangunkan minat, mendidik, nekarupa, nekasegi, nekataraf,
nekamasa, dan banyak menusantara. Karena jutaan perupa penghasil ribuan jenis
rerupa bertekun di desa, alam pikir, alam maksud, mutu karya, nama pribadi
mereka, jasa mereka dalam ekspor non-migas, impian, cita2 dan masalah hidup
mereka pantas selalu dikemukakan.
2. BATIK, SANG PENJELAJAH
“Menjelajah”,
menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia 1976, berarti menjajah atau bepergian,
menyelidiki, dsb, ke mana-mana. Diterapkan untuk batik, kata itu tentu saja
digunakan dalam arti kias. Batik, sebagai cabang seni, dikatakan menjelajah,
dalam arti merambah ke berbagai arah, mencobakan sejumlah hal yang sebelumnya
tidak dilakukan. Saya ingin menggarisbawahi kenyataan sejarah yang
memperlihatkan betapa batik memiliki sifat penjelajah ini, dan ingin
menggarisbawahi sifat ini sebagai unsur pokok yang di dalam pikiran kita
selayaknya membentuk citra kita tentang batik.
·
Perumitan dan Penghalusan
Kita tidak mempunyai tinggalan kain atau perca kain yang secara arkeologi dapat disimpulkan sebagai hasil awal-mula batik. Bahkan beberapa pandangan masih mempertengkarkan asal-usul batik.
Hasil
penelitian dan bahasan lain tentang karya seni rupa beyond the major art
ditampilkan di sini. I Wayan
Nuriarta dan I Nyoman Mahayasa, kedua-duanya lulusan
Jurusan Pendidikan Seni Rupa,
FBS-UNDIKSHA, melakukan penelitian untuk
menyelesaikan program S1
kependidikannya dengan topik bahasa tentang komik Naruto
(Nuriarta) dan grafiti
(Mahayasa). Sebagian laporannya menjadi bagian dalam tulisan ini,
setelah disesuaikan dengan
peruntukan.
Hasil Penelitian
·
Komik
Istilah
komik berasal dari bahasa Inggris comic yang berarti cerita atau buku komik,
yang bersifat gembira (Echols dan Shadily, 1990:129), cerita bergambar yang
lucu (Wojowasito, 1985;75). McCloud (2001) dalam buku Understanding Comics yang
unik, karena disusun dalam gaya penceritaan buku komik, gambar-gambar serta
lambanglambang dan narasi disusun sebagaimana dalam sebuah format buku komik
(McCloud, 2001;9) Pada dasarnya, komik merupakan karya seni perpaduan antara
seni rupa dengan karya sastra, yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk visual
atau gabungan bentuk visual dengan keterangan verbal.
Oleh
karena itu komik sering dianggap sebagai karya sastra bergambar, dan untuk
membedakan komik bersambung dengan komik lengkap, ungkapan Ingris Co-mic-strips
dan Comic-book praktis untuk digunakan karena tidak menimbulkan kekaburan
makna. Comic-strips merupakan komik bersambung yang dimuat pada surat kabar,
sedangkan comik-book atau buku komik adalah kumpulan cerita bergambar yang
terdiri dari satu atau lebih judul dan tema cerita.
·
Manga
Secara
umum manga diartikan sebagai komik made in Japan. Manga bukan lagi menjadi
sesuatu hal yang asing bagi generasi muda dan anak-anak pencinta komik dan
animasi. Manga sebagai bentuk kesenian visual dari Jepang tidak hanya memiliki
kualitas gambar yang baik dan unik, namun juga sangat ditunjang dengan kekutan
dan keragaman cerita yang menarik. Manga adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut komik Jepang. Kata manga digunakan pertama kali oleh seorang seniman
bernama Hokusai Katsushika (1760-1849) dan berasal dari dua huruf Cina yaitu
kata manga yang artinya gambar manusia untuk menceritakan sesuatu. Manga
pertama kali muncul pada abad ke18 dengan buku komik yang berjudul ‘Kibyoushi’.
Dalam sejarah manga, yang tidak boleh dilupakan adalah peranan Osamu Tezuka
yang dikenal sebagai “God of Manga”. Tetsuwan Atom adalah manga karya Osamu
Tezuka yang terkenal dan mendunia baik sebagai manga maupun anime atau kartun
Jepang.
·
Wajah
Wajah
dan figur-figur digambarkan secara sederhana emotif yang memancing identifikasi
pembaca. Penggambaran wajah dan figur dibuat secara sederhana tanpa detail.
Misalnya hanya dengan garis dan blok hitam, tapi dengan mudah dapat
mengenalinya sebagai wajah manusia, wajah laki-laki atau perempuan.
·
Kesan Tempat yang Kuat
Rincian
lingkungan yang dipicu ingatan indrawi dan ketika dipertemukan dengan karakter
ikonik akan memancing “efek masking” yang artinya dalam frame akan tampak
gambar yang kurang menyatu karena terlihat perbedaan antara latar belakang
dengan gambar tokoh. Latar belakang biasanya digambarkan dengan realis dan
tokoh dalam kartun yang sangat sederhana.
·
Frame Bisu
Penggunaan
panel bisu dipadukan dengan transisi aspek ke aspek mendorong pembaca menyusun
keinginan untuk memperoleh informasi rupa dari setiap adegan.
·
Gerak Subjektif
Menggunakan
latar yang kurang jelas atau mengganti latar dengan efek garis sehingga pembaca
merasa bergerak bersama karakter dalam komik tersebut.
·
Kematangan Genre
Pemahaman
cara bercerita yang unik mendorong terciptanya ratusan genre seperti fiksi
ilmiah, fantasi, horor, komedí, detektif dan sebagainya.
·
Rancangan Karakter
Rancangan
karakter yang sangat beragam, menampilkan tipe wajah dan tubuh yang berbeda
serta asesoris yang dengan mudah dapat kita kenal. Misalnya dengan perbedaan
warna rambut, sensata yang dibawa setiap tokoh, dan jenis pakaian yng
digunakan.
·
Rincian Dunia Nyata
Dibuat
sampai ke hal-hal yang kecil. Sebuah apresiasi untuk sebuah keindahan untuk hal
yang remeh dan kaitannya dengan nilai-nilai pengalamann sehari-hari. Bahkan
dalam cerita fantastis atau melodramatik.
·
Efek Ekspresif Emosional
Efek
ekspresif emosional yang beragam seperti latar ekspresionistis, karikatur
subjektif dan montase, semua menyediakan jendela bagi pembaca untuk melihat
yang dirasakan karakter.
Dalam
manga sering ditampilkan “aksi “ yang terlihat sebagai montase wajah ekspresif,
memenuhi seluruh halaman. Emosi yang ditampilkan melalui efek ekspresionistis,
menampilkan bentuk tubuh yang ekstrem, komposisi halaman dan bahasa tubuh
memiliki tujuan yang sama untuk meningkatkan ketegangan yang tidak dirasakan
dalam komik lain. Di Indonesia sendiri, kehadiran manga di berbagai kios dan
toko buku telah mendominasi komik-komik negara lain, Perubahan drastis pada
komik Jepang dimulai dengan penerbitan majalah Shonen Sunday dan Shonen
Magazine untuk anak-anak pada tahun 1959. Masyarakat Jepang saat itu telah
terbiasa dengan serial drama panjang yang diputar setiap minggu, dan kebiasaan
baru ini diaplikasikan dalam format manga.
Adapun
Jenis-jenis Manga :
·
Shoujo manga
Shoujo
manga yaitu manga yang lebih diperuntukkan bagi anak perempuan. Jepang adalah
negara pertama yang memelopori lahirnya komik khusus untuk kaum hawa dan
satu-satunya di dunia yang perkembangan komik perempuannya sangat maju.
·
Shounen Manga
Shounen
manga adalah manga yang lebih dikhususkan untuk pembaca laki-laki. Ceritanya
berkisar pada hal-hal yang disukai laki-laki, seperti olahraga atau petualangan
seru penuh aksi. Popularitas shounen manga berawal dengan terbitnya dua
mingguan shounen pada tahun 1959, yaitu Weekly Shounen Magazine (penerbit
Kodansha) dan Weekly Shounen Sunday (penerbit Shogakukan).
·
Doujinshi Manga
Doujinshi
adalah manga, tetapi kisah-kisah doujinshi lebih banyak dibuat berdasarkan
cerita manga yang sudah ada dan dibuat oleh penggemarnya. Jadi bisa dibilang,
doujinshi adalah fanfic dalam bentuk komik. Orang yang membuat doujinshi
disebut doujinshika.Awalnya yang membedakan doujinshi dengan manga adalah
doujinshi dibuat oleh komikus amatir. Kisahnya juga bukan berdasarkan manga
karangan orang lain, tapi karya orisinil sang komikus. Tapi kemudian muncul
doujinshi yang dibuat oleh manga-ka profesional (biasanya memakai nama samaran)
berupa parodi atau side story dari manga karangannya. Hal ini lantas diikuti
oleh para penggemar manga. Sama seperti fanfic, biasanya mereka membuat
kelanjutan dari manga yang sudah tamat, ending yang berbeda atau jalan cerita
lain sesuai dengan kehendak hati mereka. Dan tidak sedikit para doujinshi-ka
yang gambarnya mirip dengan manga aslinya.
·
Seni Jalanan (Street Art)
Seni jalanan atau biasa
disebut juga street art kemudian muncul menjadi istilah yang dipakai untuk
membedakan dengan karya seni yang dibuat dan ditempatkan dijalanan dengan
meminta ijin kepada pihak yang berwenang. Seni jalanan merupakan perkembangan
dari grafiti yang biasa di buat dengan cat semprot (aerosol) kemudian
berkembang menggunakan berbagai teknik pembuatan misalnya: stensil, stiker,
tempelan kertas/ whet pasting, poster atau campuran dari berbagai bentuk seni.
Penempatanya dilakukan tanpa ijin dari pihak berwenang dan dilakukan dengan
sengaja (misalnya: gerbong kereta, pos polisi, papan reklame dan lain-lain)
terkadang memicu timbulnya perkara. Perkara inilah yang sering pelaku seni
jalanan dianggap sebagai pelaku vandalisme.
Kata “jalanan” pada kata seni
jalanan bukan sekedar menunjukkan tempat tetapi lebih menekankan kepada
kebebasan sebab jalanan memiliki sifat longgar yang memungkinkan kebebasan
berlangsung.
·
GRAFITI
Seni grafiti merupakan
kegiatan menulis atau menggambar pada tembok atau media lainnya di tempat umum
yang biasanya kasar, lucu atau mengandung unsur politik. Alat yang digunakan
biasanya cat semprot kaleng. Grafiti (juga dieja grafitty atau grafitti) adalah
kegiatan seni rupa yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk dan volume
untuk menuliskan kalimat tertentu di atas dinding. Alat yang digunakan biasanya
cat semprot kaleng. Grafiti sendiri berasal dari bahasa Itali yaitu “graffito”
dan akhirnya populer dengan sebutan grafiti. Tidak ada yang mengetahui secara
jelas kapan seni yang satu ini mulai populer di dunia, yang jelas beberapa
bukti menunjukan bahwa grafiti sudah ada pada masa pemerintahan kerajaan Roma.
Grafiti berasal dari bahasa Italia “graffito-grafity” (bentuk plural/jamak)
yang di dedefinisikan sebagai coretan atau gambar yang digoreskan pada dinding
atau permukaan apa saja.
SEJARAH GRAFITI
Grafiti di Pompeii di atas
mengandung tulisan rakyat yang menggunakan bahasa Latin Rakyat dan bukan bahasa
Latin Klasik. Kebiasaan melukis di dinding bermula dari manusia primitif
sebagai cara mengkomunikasikan perburuan. Pada masa ini, grafitty digunakan
sebagai sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat berburu. Di
indonesia, menurut Soedarso seperti yang dikutip Syamsul Barry (2008:31),
goresan gambar yang tertua ditemukan di dinding gua Pattae Kere, yang terletak
di daerah Maros, sulawesi selatan( kebudayaan Toala, Mesolitikum, c.4000 tahun
yang lalu). Gambar pada gua itu sangat berbeda dari gambar hiasan dinding buatan
jaman purba yang biasanya bertujuan untuk memperindah tempat tinggal manusia
yang mendiaminya . Gambar tersebut bermakna lebih dalam, yaitu mengandung pesan
pengharapan (wishful painting).Terlepas dari tujuan pembuatanya, (goresan)
gambar pada gua itu dapat dikatagorikan sebagai grafiti. Dinding memang menjadi
satu media utama bagi para bomber. Permukaan yang luas dan datar menjadi salah
satu alasanya. Aktifitas menulis di dinding sudah menjadi satu budaya sejak
jaman primitive. Perkembangan zaman dan perubahan tatanan masyarakat ternyata
memberi dampak yang cukup besar bagi perkembangan seni grafiti. Yang awalnya
hanya sebagai satu media komunikasi, lambat laun berkembang menjadi satu media
perlawanan dan protes. Mulai terpisahkannya masyarakat dalam bentuk
kelas-kelas, dan membuat satu kelas tertentu merugikan kelas yang lain. Arang
dan kapur sebagai material dalam melakukan grafiti telah berganti menjadi cat,
dan sampai saat ini telah berubah mencadi cat semprot tak membuat dinding di
tinggalkan sebagai media dari material tersebut. Dengan beralih fungsinya
grafiti yang tidak sekedar sebagai alat komunikasi tetapi juga telah menjadi
alat perlawanan, maka dinding tetap menjadi media utamanya.
PERKEMBANGAN GRAFITI
Pada perkembangannya, grafiti
di sekitar tahun 70-an di Amerika dan Eropa akhirnya merambah ke wilayah urban
sebagai jati diri kelompok yang menjamur di perkotaan. Karena citranya yang
kurang bagus, grafiti telanjur menjadi momok bagi keamanan kota. Di Amerika
Serikat sendiri, setiap negara bagian sudah memiliki peraturan sendiri untuk
meredam grafiti. San Diego, California, New York telah memiliki undang-undang
yang menetapkan bahwa grafiti adalah kegiatan ilegal. Untuk mengidentifikasi
pola pembuatannya, grafiti pun dibagi menjadi dua jenis.
- Gang
grafiti
Yaitu
grafiti yang berfungsi sebagai identifikasi daerah kekuasaan lewat tulisan nama
gang, gang gabungan, para anggota gang, atau tulisan tentang apa yang terjadi
di dalam gang itu.
-
Tagging grafiti
Yaitu
jenis grafiti yang sering dipakai untuk ketenaran seseorang atau kelompok.
Semakin banyak grafiti jenis ini bertebaran, maka makin terkenallah nama
pembuatnya. Karena itu grafiti jenis ini memerlukan tagging atau tanda tangan
dari pembuat atau bomber-nya. Semacam tanggung jawab karya.
(http://id.wikipedia.org/ wiki/Grafiti, diakses 14 April 2007).
Grafiti
juga memiliki reputasi yang cukup buruk di mata pemerintah hampir di seluruh
negara, karena grafiti dituduh sebagai media yang paling frontal untuk
menghujat atau pun mengkritik secara keras sebuah pemerintahan di sebuah
negara. Grafiti sekarang mulai memasuki masa keemasannya, selain di Indonesia
sendiri, di Ameri-ka atau tepatnya di Brooklyn Museum sering diadakan pameran
grafiti yang kini disebut juga sebagai seni kontemporer. Berbagai bomber
profesional seperti Crash, Lee, Daze, Keith Haring dan Jean-Michel Basquiat
menjadi pahlawan dalam seni grafiti. Sekitar 22 bomber ikut berpartisipasi
dalam pameran ini.
GRAFITI PADA MASA MODERN
Adanya kelas-kelas sosial yang
terpisah terlalu jauh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat golongan tertentu
untuk mengekspresikan kegiatan seninya. Akibatnya beberapa individu menggunakan
sarana yang hampir tersedia di seluruh kota, yaitu dinding. Pendidikan kesenian
yang kurang menyebabkan objek yang sering muncul di grafiti berupa
tulisan-tulisan atau sandi yang hanya dipahami golongan tertentu. Meskipun
grafiti pada umumnya bersifat merusak dan menyebabkan tingginya biaya
pemeliharaan kebersihan kota, namun grafiti tetap merupakan ekspresi seni yang
harus dihargai. Grafiti memiliki keindahan tersendiri, karena ia hadir dari
seni, kebanyakan pelukis grafitti akan mencurahkan isi hati mereka lewat
simbol-simbol, kata-kata, bahkan terkesan komikus. Bila dipahami dan diberi
kesempatan untuk berkarya dalam wadah yang terencana, para pelukis grafitti
dapat menyalurkan kreativitas mereka dalam memberi nuansa kota yang rekreatif,
karena apa yang mereka kerjakan memberikan nuansa seni bagi kota. Pada masa
modern sekarang ini, grafiti pun mengalami satu perkembangan dalam tujuanya.
Untuk menunjukan satu identitas pribadi, seperti yang dilakukan oleh seorang
Amerika yang bernama Taki. Ia selalu menuliskan namanya, entah itu didalam
kereta atau di dinding bis kota, yang kemudian membuat Taki menjadi terkenal.
Hal tersebut kemudian diikuti oleh banyak anak muda disana, yang seperti
terinspirasi oleh Taki. Mutasi motivasi ini tak bisa kita katakan sebagai
sesuatu yang bukan seni. Bukan pembenaran, bahwa seni itu adalah kebebasan.
Namun bisa juga kita katakan, kalau corat-coret di tempat umum yang hanya
sekedar unutk menunjukan satu identitas saja adalah bentuk seni juga. Walaupun
mungkin dalam satu level yang berbeda.
Antara Seni, Perlawanan dan
Vandalisme
Seni
adalah satu bentuk ekspresi kreatif manusia. Seni juga sangat sulit diartikan
atau dinilai. Setiap individu, baik sang seniman ataupun penikmat seni itu
sendiri, bisa membuat satu parameter untuk menentukan nilai dan artian dari
sebuah karya seni. Ini menunjukan bahwa kebebasan adalah tuhan dari seni itu
sendiri.
Dari
kutipan di atas dapat disimak bahwa seni merupakan hasil kreatifitas manusia
dan kebeabasan berekspresi merupakan hal yang utama dari seni itu sendiri.
Seni
dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk. Corat-coret di tempat umum yang
hanya sekedar untuk menunjukan satu identitas saja adalah bentuk seni juga.
Sedikit berbeda bentuk dari coretan cat semprot yang dihasilkan oleh pelaku
grafiti yang bermotifasi untuk memperkenalkan identitas pribadi atau golonganya,
dengan pelaku yang melakukan grafiti sebagai media propaganda atau kritik atas
satu kondisi sosial yang ada. Dan grafiti yang merupakan satu dari sekian
banyak farian dalam bidang seni. Namun din-ding dan tempat umum yang digunakan
sebagai media seni dari grafiti, membuat banyak orang tidak menganggap itu
sebagai seni, melainkan melihat grafiti sebagai sebuah perilaku yang merusak
sarana dan kepentingan publik. Vandalisme, adalah satu stigma yang sering
diungkapakan orang terhadap pelaku grafiti maupun grafiti itu sendiri. Pada
hakekatnya, vandalisme sendiri merujuk pada perusakan atas barang milik orang
lain termasuk juga barang yang diperuntukan untuk kepentingan publik. Namun
vandalisme mempunyai aspek emosi dalam melakukanya. Memang tidak bisa kita
jadikan pembenaran, bahwa kebebasan berekspresi bisa disampaikan dengan media
apa saja temasuk dinding dan sarana publik sebagai medianya. Namun juga harus
kita perhatikan dewasa ini, untuk mendapatkan sarana melampiaskan ekspresinya,
seniman harus benyak mengeluarkan uang. Tidak sedikit memang orang yang masih
menganggap grafiti sebagai sebuah perilaku vandalisme, hanya karena media yang
digunakan adalah sarana publik. Namun juga banyak orang yang melihat grafiti
merupakan sebuah bentuk ekspresi seni, yang jauh lebih baik ketimbang
dinding-dinding dipenuhi dengan pesan-pesan komersial. Dan sekali lagi, grafiti
juga patut kita hargai sebagai karya seni. Dan perbedaan ini mungkin menjadi
pembenaran bahwa grafiti merupakan sebuah kontroversi.
Grafiti Action Sebagai Sebuah
Komoditi
Tak
bisa dipungkiri, bahwa grafiti action telah menjadi satu fenomena tersendiri di
masyarakat. Khusunya bagi anak muda yang umumnya menjadi pelaku grafiti.
Terlepas maksud dan tujuan dari grafiti action tersebut, baik yang pure seni
ataupun yang memang ditujukan sebagai bentuk protes. Namun hal ini seperti
sudah menjadi satu trend tersendiri dikalangan anak muda. “Pasar” memang
mempunyai mata dimana-mana. Dimana dia melihat fenomena dan besarnya antusias
akan sesuatu hal, maka dia akan menjadikan hal itu sebagai komoditi untuk
mendapatkan keuntungan baginya. Contoh sederhanya adalah game play station yang
bertemakan grafiti action, walaupun mungkin tidak terlalu laku dipasaran.
Karena kondisi seperti ini mempunyai dua sisi yang berbeda bagi grafiti.
Grafiti akan menjadi sangat banyak peminat atau pelakunya, namun disisi lain
grafiti seolah-olah telah menjadi barang dagangan. Dan yang mampu untuk
melakukan perlawanan terhadap proses penghianatan terhadap grafiti sebagai seni,
yang seharusnya tidak diperjual belikan adalah grafiti itu sendiri. Dan ketika
protes itu telah sampai kepada titik perlawanan terhadap sistem, maka grafiti
tidak akan berjalan sendiri. Dia akan diiringi oleh lautan manusia yang menjadi
korban dari sistem ini. Grafiti merupakan suatu bentuk karya seni yang telah
merambah ke sejumlah kota besar di Indonesia. Karya seni publik yang lahir dari
kota New York ini telah mengalami sejumlah perkembangan, dari yang awalnya
hanya sekedar corat-coret, kini menjadi lebih artistik dan memiliki nilai seni.
Aliran Grafiti
Aliran atau gaya dalam grafiti
cukup banyak, namun “tag” merupakan salah satu dasar yang harus dimiliki oleh
para bomber. Tag merupakan gaya dalam menulis atau membuat gambar-gambar atau
tulisan sehingga menarik, biasanya para bomber memiliki ciri khas masing-masing
pada tag-nya tersebut. Paling seru dalam grafiti ialah apa yang di sebut dengan
wildstyle. Gaya ini adalah sebutan di mana seorang bomber dapat melakukan apa
saja, baik itu dari segi disain atau pun pemilihan warna, dan karya yang paling
ekstrim menjadi sesuatu yang paling menarik di sini. Dalam seni grafiti,
terdapat beberapa aliran-aliran yang sering digunakan oleh para bomber dalam
membuat grafiti di tembok-tembok jalanan ibu kota. Berikut ini adalah sedikit
penjelasan dari aliran-aliran grafitti :Bubble, yaitu gaya pola yang umum
dipakai writer atau bomber untuk melakukan throw up (menggrafiti dengan
cepat).Wildstyle atau semi wildstyle, yaitu gaya yang sejenis dan biasa dipakai
serta populer bagi para writer. Ciri gaya pola ini adalah menggunakan ornamen
seperti tanda panah, bintang, dll.3D, yaitu gaya pola yang mengesankan kesan 3
dimensi.Tagging. Adalah gaya/pola yang umum dilakukan oleh para bomber di mana
hasilnya nampak seperti tanda tangan. Hanya sekadar tulisan. Ini yang kemudian
disebut sebagai corat-coret.
Fungsi Grafiti
Dari berbagai macam jenis
grafiti yang ada, fungsi grafiti pada zaman modern mengalami perkembangan
fungsi. Adapun beberapa fungsi dari Grafiti.
· Bahasa
rahasia kelompok tertentu
Grafiti
mengalami satu perkembangan dalam tujuanya. Untuk menunjukan satu identitas
pribadi, seperti yang dilakukan oleh seorang Amerika yang bernama Taki.
Yangselalu menuliskan namanya, entah itu didalam kereta atau di dinding bis
kota, yang kemudian membuat Taki menjadi terkenal.
· Sarana
Ekspresi
Seiring
perkembangan jaman perubahan gaya hiduf (life style). Adanya kelas-kelas sosial
yang terpisah terlalu jauh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat golongan
tertentu untuk mengekspresikan kegiatan seninya. Akibatnya beberapa individu
menggunakan sarana yang hampir tersedia di seluruh kota, yaitu dinding.
· Sarana
Pemberontakan
Grafiti
sebagai media propaganda atau kritik atas satu kondisi sosial yang ada. Umumnya
pelaku grafiti yang menjadikan grafiti sebagai media perlawanan dan penyadaran,
dalam grafitinya selalu meninggalkan pesan-pesan pagi orang yang melihatnya.
Sehingga hasil dari coretan tersebut pun, bukan sekedar kata-kata atau tulisan.
Motivasi Membuat Grafiti
Motivasi
untuk membuat grafiti tidak lain adalah untuk memperindah kota di samping
faktor sekedar menunjukkan dirinya melalui grafiti. Hal ini diungkapkan oleh
Cory. Tentu pendapat ini masih menimbulkan perdebatan dalam mengidentifikasikan
tentang keindahan kota. Mereka berpendapat bahwa kebersihan tidak relevan
dengan keindahan. Tembok yang dicat putih bukanlah keindahan, tetapi
kebersihan. Bersih bagi mereka belum tentu indah, sedangkan indah bisa dimaknai
dengan bersih. Di sisi lain, mereka tidak menampik pendapat bahwa ada sisi
vandalisme yang dilakukan oleh bomber lain. Dan sebagian bomber mengakui bahwa
ada yang menyebutkan bahwa membuat grafiti memang harus bersifat vandalis.
Grafiti di Denpasar yang masih baru berkembang serta jiwa muda yang ada dalam
kepribadian mereka tidak bisa dilepaskan dari semangat pemberontakan, anti
kemapanan dan tantangan. Ingin menunjukkan diri bahkan tidak malu-malu menyebut
dirinya sebagai seorang vandalis menjadi kebanggaan tersendiri seorang bomber.
penilaian keburukan citra bersih tidak disama-ratakan kepada semua bentuk
grafiti. Ada grafiti yang memang benar-benar bertujuan untuk memperindah kota,
tetapi ada juga grafiti yang memang untuk merusak yang indah dan baik. Melihat
tujuan grafiti artistik seperti di atas, maka pemilihan tempat pun direncanakan
sebaik mungkin. Tembok yang tak terawat terlebih pada jalan-jalan utama atau
strategis mereka timpa dengan grafiti artistik. Tembok yang tak terawat
tersebut, menurut DD dan Cory diasumsikannya sebagai bentuk pengingkaran
terhadap hak miliknya sendiri. Artinya adalah mereka yang mempunyai tembok
tidak sanggup merawatnya, karena itulah bomber mengambil alihnya dengan maksud
menghilangkan kesan tak terawat dengan bahasa rupa yaitu grafiti artistik.
Kalaupun ada tembok yang terawat hingga dicat putih bersih tetapi ada grafiti
artistiknya, itu karena ada permintaan dari pemilik tembok tersebut.
Bentuk ‘pengambil alihan’
tembok yang tak terawat tersebut menjadi bentuk kepedulian mengenai bangunan di
jalan-jalan strategis yang tidak merawatnya dengan baik, sehingga menimbulkan
kesan kotor dari setiap pengendara kendaraan yang melintasinya. Tembok tak
terawat didefinisikan mereka, sebagai berikut:
1)
Tembok yang dibiarkan kumuh, sehingga poster dan pamflet iklan sangat mudah
menempelkannya. Tembok semacam ini akan segera ditimpa oleh grafiti.
2)
Tembok yang dahulunya putih bersih, namun lama kelamaan memudar, bahkan
warnanya cenderung kecoklatan dan kehitaman atau kehijauan karena lumut. Untuk
tembok yang seperti ini, biasanya sebelum ditimpa grafiti, bomber akan
mengecatnya dulu dengan warna putih untuk menimbulkan kesan segar.
3)
Tembok yang dibiarkan rusak. Biasanya tembok ini dibiarkan beberapa bagiannya
telah rusak dan oleh pemiliknya langsung ditindas dengan warna putih. Dalam
jangka waktu ke depan, bagian yang rusak ini menjadi sangat kelihatan bentuknya
dan mengurangi nilai kebersihan dan keindahan. Dengan pemberian warna, rusaknya
bagian tembok bisa diminimalisir.
4)
Tembok di ruang publik dan milik umum, namun tidak dirawat keberadaannya.
Lokasinya yang memungkinkan publik melihat karena berada di tempat strategis
menjadikan titik ini tidak berkesan indah karena tidak dirawat oleh instansi
terkait. Biasanya berupa tembok di areal pertokoan, gang, dan bangunan-bangunan
tak terawat.
Berikut ini tembok terawat
yang menjadi incaran mereka:
1)
Tembok milik publik. Meskipun dirawat, namun kejengahan kaum bomber yang tidak
bisa melihat tembok dicat putih dijadikan sasaran empuk olehnya. Menurut mereka
tembok publik yang dicat putih bersih tidak mencerminkan keindahan, namun
kebosanan dan membuat silau pada mata, apalagi kalau terik matahari di siang
hari begitu menyengat. Inilah yang ditentang oleh mereka. Biasanya pagar yang
membentang panjang.
2)
Tembok milik pribadi. Beberapa kawasan yang dijadikan sasaran biasanya adalah
perumahan. Masih dengan alasan mereka, bahwa warna putih sangat membosankan dan
menyilaukan mata, mereka juga berpendapat bahwa kebersihan bukanlah keindahan
namun kemapanan. Grafiti artistik di daerah ini menjadi ‘buruk rupa’ karena
secara teknis belum semaksimal karya grafiti seperti halnya di Jakarta dan
Jogjakarta, sehingga penghuni rumah di kawasan perumahan yang umumnya mempunyai
nilai rasa terhadap artistik visual tinggi belum menilai positif grafiti
artistik tersebut. Selain itu penggarapan yang terkesan tidak terkoordinasi
dengan baik, menjadikan karya grafiti di beberapa tempat secara visual kurang
menarik, meskipun yang dikerjakannya adalah grafiti artistik.
Komentar
Posting Komentar