Pendekatan Bahasan Seni Rupa

 

Pendekatan Bahasan Seni Rupa


-Pendekatan Bahasan Seni Rupa
    Batasan pengertian bidang budaya yang menjadi bagian kajian antropologi, ternyata, adalah bidang-bidang kesenian. Di dalamnya dicatat dan dibahas masalah-masalah yang terkait dengan benda-benda tinggalan masa lalu ataupun benda-benda masa kini apa adanya. Dari kegiatan-kegiatan tersebut lahir sebutan pendekatan entografi tetapi dengan penekanan pada perubahan pendekatan yang sekaligus sebagai revisi terhadap pola pendekatan antropolog yang hanya “sekadar” mencatat sesuatu itu sebagaimana apa adanya. Kini, pendekatan etnografi baru telah melibatkan tinjauan yang lebih mendalam dan melebar dengan  

    memasukkan unsur kajian yang sosiologis maupun psiklogis.
Para antropolog telah lama tertarik untuk mengumpulkan data tentang hasil budaya fisik, hasil kegiatan masyarakat yang visual, yaitu karya-karya seni rupa. Bahasan para antropolog ini telah melahirkan sebutan yang kini melengkapi nama bidang kajian antropologi menjadi antropologi budaya.

-Pendekatan Antropologi tentang Seni Rupa
    sekilas telah dikemukakan beberapa buku yang membahas seni rupa dengan cara-bahas yang agak berbeda dengan bahasan buku kebanyakan. Yang dimaksud carabahas berbeda di sini adalah cara-bahas yang melepaskan pola pikir major-minor dalam penglompokan karya maupun pelaku seni rupa. Cara-bahas ini menempatkan semua karya manusia ke dalam satu padanan sebutan: arts, seni, seni rupa. Para penulis Barat yang membahas seni rupa dengan “pandangan lain” ini menampilkan karya para pedesa dan para pekota. Seni primitif yang oleh para penganut paham pengelompokan seni utama-remeh dianggap bukat Arts, di dalam buku-buku seni rupa dengan pandangan lain ini dibahas dengan kesungguhan bahasan “seni utama”

    Buku World Cultures and Modern Art, katalog The XXth Olympiad Munchen 1972, seperti telah dikemukakan di muka, menampilkan tidak kurang dari 2.400-an bentuk karya seni rupa. Jumlah karya seni rupa yang ditampilkan (dalam bentuk gambar atau foto), bisa ditafsirkan sebagai petunjuk tingkat kepentingan objek yang dipamerkan. Semakin tinggi jumlah bentuk karya seni rupa tertentu yang ditampilkan, semakin tinggi nilai kepentingannya.

    Pandangan para antropolog tentang keberadaan seni rupa, tampaknya, harus menjadi bahan kajian bagi para pemerhati seni rupa. Para antropolog tidak pernah memilah bahasan seni rupa berdasarkan kelompok utama-remeh atau murni-terap. Karena kegiatan seni adalah bagian dari kegiatan manusia, “seni tidak bisa dipisahkan dari kehidupan” (Herkovits, 1955: 234). Bahasan para antropolog tentang arts, seni, seni rupa ini, terutama memperhatikan bentuk, tenkik pembuatan, motif hias, dan gaya (Koentjaraningrat, 1990: 380).Bentuk dan jenis karya seni rupa yang disebut oleh para antropolog atau pun penyusun buku yang lebih condong menggunakan cara pendekatan antropologis dalam bahasan isi bukunya, bisa

    Buku Introduction to Cultural Anthropology (1968) yang disusun oleh James A. Clipton (Ed.), terdiri atas 18 bab, 540 halaman. Salah satu bab, 40 halaman, secara khusus membahas Art in the Life of Primitive Peoples. Benda-benda seni rupa yang ditampilkan, sebagian dilengkapi gambar penjelas, adalah: selimut, topeng (benda yang paling banyak dibahas), patung (bentuk manusia), piagam, lukisan, dan tenunan.

    Buku yang lebih khusus berbicara tentang seni rupa dengan pendekatan antropologi, The Anthropology of Art, terdiri atas 5 bab, 227 halaman, disusun oleh Robert Layton (1981). Buku ini berisi pembicaraan seni primitif yang langka disinggung oleh para “senirupawan” --apalagi tentang seni rupa primitif bangsa-bangsa Eropa-- dengan bahasan yang cukup mendalam. Salah satu jenis seni primitif Indonesia yang dibahas dalam buku ini adalah Seni Asmat.Benda-benda seni rupa yang disebut oleh Llayton antara lain: lukisan gua, rumah, palet, patung, ukiran mini, topeng, keranjang, piagam, hiasan tubuh, hiasan kepala, jimat, kotak minuman, kapak, terompet, dan bejana.

-BAGAIMANA KELUARGA MENYIASATI TEKNOLOGI?

    Perkembangan perangkat teknologi kita rasakan sangat pesat. Tahun 70-an, televisi masih dirasakan sebagai “kotak ajaib” yang hanya dimiliki orang-orang kaya tertentu saja. Atau, lebih ke belakang lagi, radio pun bisa dirasakan sebagai “benda aneh” yang bisa omong. dunia penikmatan hasil teknologi elektronik tersebut. Menikmati radio di satu sisi hanya memberi kepuasan audio saja. Pendengaran adalah perangkat utama yang digunakan oleh seseorang ketika menikmati acara radio. Interaksi pendengar, selain dilakukan lewat surat, kini, bisa dilakukan lewat pesawat telefon. Seorang penyiar yang disukai pendengar acara radio bisa “didekati” lewat sambungan telefon tersebut. Radio, dalam keterbatasan dan kelebihannya, hingga kini, masih banyak peminatnya, termasuk kelompok anakanak.

    Banyak ahli pendidikan yang kemudian percaya bahwa media teve bisa menjadi lembaga pendidikan. Sejalan dengan peran televisi sebagai media hiburan, maka materi tayangan pendidikan yang dikemas dalam acara teve juga harus bersifat menghibur. Seperti disebutkan oleh Eduard Depari, “jika unsur kemasan diabaikan, tidak mustahil tayangan tersebut akan kehilangan daya tariknya”.Tentang besarnya pengaruh langsung acara teve kepada penonton cukup banyak bukti yang bisa diperhatikan di sekitar kita. Ketika teve swasta banyak menayangkan acara tele novela Mexico-an, begitu banyak ibu-ibu yang kemudian memiliki jadwal-tonton yang rutin. Jadwal tersebut tak bisa diubah. Tangisan dan keributan anak pada saat tayangan berlangsung, tidak akan bisa mengganggu acara menonton. 

    Sisi positif menonton teve diungkapkan oleh seorang ibu. “Pengaruh baik yang kami perhatikan pada putra kami adalah selalu ingin menjaga atau melindungi seperti halnya pada perilaku tokoh jagoan idolanya”. Hal yang menarik adalah yang dialami oleh seorang ibu lain dengan anaknya yang masih usia pra-TK. “Pada waktu itu”, tulisnya, “anak kami masih di Play Group. Tentunya belum dapat membaca. Padahal, pada waktu itu, film-film kartun dialognya berbahasa darimana film itu diproduksi.

    Perkembangan teknologi dampak awalnya bertalian dengan kemaslahatan umat. Tetapi kemudian, kemajuan teknologi telah turut memajukan dan menganekargamkan jenis kejahatan. Tujuan buruk pun telah dikemas sedemikian rupa hingga tampilannya tetap terselubung dalam bungkus mainan. Kekerasan yang menjadi pola film animasi keluaran beberapa perusahaan software dan komik Jepang, misalnya, yang mengandalkan penyelesaian cerita dengan pembunuhan, sangat “disukai” oleh anak-anak kita. Arus pengaruh teman sebaya tak bisa dibendung oleh orang tua. Atau, kalau orang tua tetap mau membendungnya, pengaruh itu tetap juga akan luber tak terkendali. Lebih baik orang tua turut menyusun jalan-jalan penyalurannya, agar bah pengaruh itu bisa lebih sehat alirannya. Orang tua wajib peduli dengan kesenangan anak-anak. Kalau perlu, orang tua bisa melakukan diskusi dengan anak-anak tentang mainan-mainan kesenangannya.Membiarkan anak mengeksplorasi dunianya adalah tindakan bijaksana. Tetapi, bimbingan, arahan, dan penyaluran merupakan kunci pengaman yang bisa dibentuk oleh orang tua

-Pendekatan Sosiologi tentang Seni Rupa

    Bouman tahun 50-an dengan apa yang dipaparkan oleh Jaques Lennhardt tahun 70-an, tidak terlalu jauh bergeser. Penelitian para sosiologist tentang seni, Lennhardt menyebutnya arus utama (main trends) penelitian sosiologi seni, berkisar tentang hasil karya seni yang diperlakukan sebagai jejak sosial yang akan membimbing para sosiolog dalam meneliti komponen lingkungan sosial para pekerja seni, dan kondisi sosial penciptaan seni (Lennhardt, 1978: 585 - 596).

  Bouman menegaskan: “Sosiologi kesenian dapat memberi gambaran tentang keadaan2 jang menjuburkan tumbuhnja beberapa pernjataan seni tertentu, tetapi tidak pernah dapat ‘menerangkan’ bagaimana terdjadinja bentuk2 seni.Ia harus membatasi diri pada penjelidikan kesenian sebagai eksponen kesatuan djiwa kelompok, dengan tiada berhak untuk ingin menembus sampai proses psychologis jang terdjadi pada setiap seniman (meskipun ia mewakili fikiran kelompok)”. 

    Diakui oleh Baouman bahwa tafsiran sosiologis untuk jenis-jenis seni modern, yang menggambarkan individualitas senimannya, sangat sulit dilakukan. Ia mengangkat pendapat W. Kloos yang menyataan bahwa kesenian modern itu merupakan “pernjataan yang paling individual dari perasaan-perasaan yang paling individual”. Tetapi, meskipun demikian, Bouman masih mengakui bahwa seniman tetap tidak bisa lepas dari pengaruh waktu dan lingkungannya.Gaya, aliran, atau isme, tidak menjadi bagian kajian dalam sosiologi seni. Itu semua menjadi bagian kajian sejarah kesenian. Yang dikaji dalam pendekatan sosiologi seni adalah latar belakang keadaan masyarakat sebagai lingkungan seniman berada, yang mempengaruhi kelahiran suatu gaya. Lingkungan masyarakat seperti apa yang melatari kelahiran daya seni abstrak, mi-salnya.Gaya, aliran, atau isme, tidak menjadi bagian kajian dalam sosiologi seni. Itu semua menjadi bagian kajian sejarah kesenian. Yang dikaji dalam pendekatan sosiologi seni adalah latar belakang keadaan masyarakat sebagai lingkungan seniman berada, yang mempengaruhi kelahiran suatu gaya. Lingkungan masyarakat seperti apa yang melatari kelahiran daya seni abstrak, mi-salnya.

-Pendekatan Psikologi tentang Seni Rupa

    Pendekatan psikologi terhadap seni lebih cenderung berupa kajian estetis yang dikaitkan dengan perilaku dan pengalaman manusia dalam pengolahan, penikmatan, ataupun pe-ngaruh seni. Para ahli psikologi mengenal dua bentuk pendekatan psikologis: Pendekatan Gestaltism (The Psychology of Vision, Psikologi Cerapan) dan pendekatan Psikologi Analitik. Dalam buku ini lebih khusus akan dibahas dibahas pendekatan yang kedua, pendekatan psikologi analitik dari Carl Gustav Jung. Dalam pembicaraan psikologi analitik, khususnya ketika membahas seni modern, kita akan menemukan sebutan extraverted (model perilaku yang bersifat subjektif). Extraverted, sikap ekstravet, adalah bentuk lain untuk menyebut tampilan seni yang (dianggap) bersfat universal. 
    Introverted (kebalikan dari kondisi ekstravet), sikap intovet, digunakan untuk menyebut tampilan karya seni yang bersifat individual. Bidang psikologi sudah cukup lama merambah medan bahasan bidang seni. Pandangan dan analisis para psikolog tentang seni, terpusat pada sudut pandang kejiwaan yang bisa diukur dalam tampilan perilaku. Para psikolog, khususnya ahli psikologi analitik, mengkajinya melalui pembagian model-model manusia pelakunya. Pembedaan tersebut lebih dikenal dengan sebutan tipe-tipe psikologis.Usaha pembahasan tipe-tipe psikologis ini memiliki sejarah yang panjang. Diawali oleh Galen, seorang dokter Yunani, lebih kurang dua ribu tahun yang lalu, yang merumuskan empat temperamen manusia: sanguinikus, flegmatik, kolerik, dan melankolik. Kemudian Kretschmer mencoba mencari rumusan penggolongan yang lebih modern, yang dilanjutkan oleh Carl Gustav Jung. Jung-lah --dengan konsep sikap ekstravert dan introvert-- yang dengan teliti melacak sejarah pengaruh tipe psikologis pada puisi dan estetika (Read, 1958: 73 - 106). Merujuk ciri-ciri tipe psikologis yang dikemukakan oleh Jung, bertalian dengan pelaku seni modern, secara garis besar terdiri atas empat kelompok seperti berikut.

-Realisme, Naturalisme, dan Impressionisme

    Kelompok seniman yang menganut tiga aliran seni ini mengutamakan unsur pikir dalam kegiat-annya. Tampilan kelompok ini menunjukkan sikap peniruan terhadap dunia-luar alam. Tampil-an utama karya yang dilatari ketiga aliran ini adalah sesuatu yang nyata. Kenyataan inilah yang menuntut unsur pikir karena peniruan bentuk real, natural, maupun impression adalah peniruan terhadap bentuk-bentuk yang ada di alam. Walaupun kemudian ada penambahan tertentu, ikatan bentuk-bentuk yang nyata sebagai unsur utama dalam model atau objek benda yang ditiru tetap ketat. Sesuatu yang nyata tampak jelas dalam bentuk-luar objek.
• Superrealisme dan Futurisme
Peranan sensasi sangat kuat dalam konsep kegiatan kelompok ini. Mereka menunjukkan perhatian terhadap nilai-nilai spiritual dalam memanggapi dunia-luar alam. Dunia-luar, bagi ke-lompok ini, masih menjadi perhatian yang utama. Mereka menggunakan sensasi bentuk nyata dengan menambahkan unsur-unsur tampilan yang luar biasa, berlebihan, bahkan menampakkan kondisi yang ada di luar dunia nyata.
• Fauvisme dan Expressionisme
Peranan sesnsasi sangat kuat dalam konsep kegiatan kelompok ini. Karya mereka menampilkan kerinduan terhadap sensasi rasa perseorangan senimannya. Seniman-seniman ini mengutamakan subjektivitas dirinya dalam mengolah karya.
• Cubisme, Constructivisme, dan Functionalisme
Bagi kelompok ini, intuisi menjadi titik pusat konsep berpikir mereka. Mereka menunjukkan keasyikan dengan bentuk-bentuk mujarad (abstrak) Kelompok pertama memiliki latar sikap objektif senimannya. Bentuk-bentuk alam menjadi dasar tiruan: fotografis maupun impressionistis. Keberadaan objek mengontrol kegiatan jasmani. Seluruh perhatian seniman ditujukan hanya untuk meneliti kepastian objek. Faktor bawah sadar dan kejiwaan seniman mungkin bisa tersalurkan melalui pengaturan komposisi dan warna.

       Sebagai sebuah bentuk pendekatan ilmiah, penggolongan nilai estetis karya seni modern yang dilakukan oleh Jung, bisa digunakan sebagai alternatif pendekatan estetika. Tetapi ada kerancuan anggapan dalam konsep yang dikemukakan oleh Jung. Jung menyebutkan, tipe psikologis hanya bisa diterapkan kepada mereka yang memiliki sifat bawaan: ekstravet atau pun introvet., yaitu sifat yang menetap. Padahal banyak seniman yang tidak menetap dalam satu gaya, tidak setia dengan satu kondisi tampilan! Hanya seniman dengan tipe hapticlah yang memiliki gaya bawaan.

    tidak ada kesepakatan yang ketat tentang kapan tepatnya awal pemunculan Modernisme atau Erakan Modern ini. Para kritikus lazim menunjuk masa Revolusi Industri di Eropa pada pertengahan abad 18 hingga 19 sebagai pemicu awal terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam pola kehidupan dan tatanan masyarakat Barat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya.Di dalam konteks perubahan ini pula pengertian “desain” dalam artian modern, yaitu kegiatan desain yang terpisah dari kegiatan produksinya dan desain sebagai bagian dari nilai komersial suatu produk, mulai terbentuk. Perkembangan awalnya sangat diwarnai oleh gejolak perdebatan antara mempertahankan konsep tradisional seni kriya (craft) dengan kemodernan sisitem kerja mesin dalam proses produksi massal.

    Kemunculan Art Nouveau sebenarnya sangat dipengaruhi oleh aliran Art & Craft Movement yang telah berkembang di Inggris pada pertengahan abad 19, dengan tokohnya John Ruskin dan William Morris. Secara umum, kedua aliran ini sering diartikan sebagai reaksi ideologis para perancang terhadap gelombang industrialisasi dan mekanisasi, yang dianggap telah menurunkan mutu desain dan kebanggaan kaum perajin terhadap barangbarang yang diproduksi secara massal. Perbedaannya ialah, Art & Craft Movement lebih berdimensi sosial dan bersikap anti-industri, yaitu dengan mendirikan gilda-gilda seperti jaman Abad Pertengahan guna menyelamatkan keterampilan olah seni, kriya dan ornamen pada benda-benda desain. Memasuki dekade awal abad 20, lengkung-lengkung Art Nouveau yang telah merambah ke hampir segala jenis produkdesain dan arsitektur seakan-akan mengalami kejenuhan dan me-munculkan semacam ‘reaksi balik’. Di kalangan arsitek dan pendesain terdapat kesamaan kecenderungan untuk meninggalkan konsep lama’menempelkan’ seni pada permukaan benda-benda, karena hal itu dipandang tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman. Era industri dan mekanisasi yang tak terbendung lagi telah memaksa kaum perancang untuk mengubah cara pandangnya terhadap fenomena mesin serta produkproduk yang dihasilkan, bukan dengan mengelabuinya dengan ornamentasi, melainkan dengan menciptakan perpaduan yang rasional antara konsep seni dan industri, antara aspek estetika dan teknik.

    Pada tahun 1908 terbit sebuah tulisan yang kontroversial, Ornament and Crime, karangan arsitek Adolf Loos. Menurutnya, dalam evolusi budaya jaman modern maka ornamen pada ba-ngunan dan benda-benda tidak lagi sesuai dengan tuntutan fungsionalnya. Loos bahkan mengutuk habis-habisan penggunaan ornamen dengan menganalogikan pada kegemaran kaum primitif --dalam istilahnya disebut ‘the Papuan’ -- dalam menghias segala perlengkapannya, termasuk mentattoo tubuhnya. Karena itu, menurut Loos, penggunaan ornamen juga menunjukkan ke-rendahan selera budaya dan layak disejajarkan dengan kejahatan kriminal.

    Sementara itu reaksi muncul di Amerika Serikat terhadap awal era standarisasi dan mekanisasi industri ini adalah dicanangkannya paham fungsionalisme dalam pendekatan desain, sebagaimana disuarakan oleh arsitek kenamaan Louis Sullivan, dalam sebuah slogannya yang kemudian menjadi salah satu ‘dogma’ Modernisme: Form even follows function. That is the law (Bentuk selalu mengikuti fungsi. Itulah hukumnya). Dari sejak itu mulailah dikembangkan suatu ‘gaya industri’ (industrial style) yang menganut nilai-nilai yag rasional, sederhana, dan menampilkan kaidah estetika mesin; menyimbolkan mulainya abad modern dalam kejayaan teknologi.Merunut faktor-faktor penyebab munculnya prinsip desain modernisme sebenarnya sangatlah kompleks, seperti halnya dengan menentukan kapan awal pemunculannya. Secara garis besar beberapa faktor pendukung bisa disebutkan berikut ini: Pertama, industrialisasi bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme telah mendorong lahirnya ‘kelas menengah’ baru yang cukup makmur. Kebutuhan dan kemampuan dalam pemilikan barang-barang menjadi semakin luas ke berbagai lapisan masyarakat.

    Kedua, kemajuan teknologi telah memunculkan sejumlah fungsi baru dalam kebutuhan hidup masyarakat modern, sedang fungsi-fungsi lama mengalami transformasi. Tipe-tipe bangunan yang sebelumnya tidak dikembangkan seperti pabrik, gedung perkantoran dan pertokoan, rumah sakit, sekolah dan hotel besar merupakan tantangan baru dalam bidang arsitektur. Sedang revolusi gaya hidup yang ditandai dengan berperannya rumah-rumah ‘sub-urban’, rumah tanpa pembantu, penggunaan peralatan listrik seperti radio, televisi, alat pembersih debu, lemari es, dan sebagainya, telah menimbulkan problem-problem baru dalam perancangan dan penataannya. 
    
    Ketiga, ditemukannya metode pengolahan dan teknik penggunaan bahan-bhan mterial baru. Dengan menggunakan material baja, beton bertulang dan kaca lebar, desain arsitektur dimungkinkan untuk mengeksploitasi bentuk-bentuk baru yang tadinya tidak dikenal, seperti bangun-an berkantilever atau gedung-gedung pencakar langit dengan kerangka baja dan selaput dinding kaca (curtain wall). Desain industri juga makin berkembang melalui sejumlah eksperimentasi dan eksplorasi bahan, seperti berbagai jenis plastik, serat gelas (fibre glass), logam ringan se-jenis aluminium atau campuran (alloy), baja tak berkarat (stainless steel), pelengkungan kayu lapis (laminated bentwood) dan sebagainya.

    Pokok gagasan Modernisme lazim disebut juga ‘rasionalisme’, dan dalam penerapannya dapat dijabarkan lagi dalam beberapa ‘turunan’nya. Berikut ini, untuk lebih memudahkan dalam memahami Modernisme, akan diuraikan beberapa pokok gagasan yang dianut di dalamnya. Pokok-pokok gagasan ini sebenarnya tidaklah dapat dipandang sebagai bagian yang berdiri sendiri-sendiri secara terpisah, namun merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan dan saling pengaruh antara satu dengan yang lainnya.

    Ada beberapa analogi pembenaran dalam penerapan paham fungsionalisme ini. Pertama adalah analogi ‘biologis’,yaitu para perancang mendasari pengamatannya pada alam dan bentuk-bentuk mahluk hidup. Mereka mengamati bahwa suatu organ mempunyai bentuk tertentu, bahkan berevolusi menuju suatu bentuk tertentu karena tuntutan fungsinya. Analogi ini berkembang dalam pendekatan desain yang ‘organis’, yaitu bahwa bentuk luar suatu benda atau bangunan ditentukan oleh tuntutan fungsi dan struktur di dalamnya.

    Modernisme muncul dalam semangat industri dan mekanisasi. Mesin menjadi kunci utama. Kekaguman terhadap mesin sebagai fenomena perubahan peradaban manusia masa itu, menjadikan mesin sebagai sumber inspirasi dan panutan dalam berbagai gerakan/aliran seni dan desain yang muncul secara menjamur pada dua dekade awal abad 20. 

    Estetika mesin merupakan hasil penggabungan antara konsep seni dengan industri, yaitu kaidah-kaidah yang muncul dalam tuntutan rasionalitas industri. Nilai estetikanya mengacu baik pada bentuk mesin itu sendiri yang lugas, fungsional, tanpa ornamen atau dekorasi; sifat dan cara kerja mesin yang rasional dan efisien; serta pada benda-benda yang dihasilkan oleh sistem kerja mesin, yaitu sederhan, presisi dan terstandarisasi. Maka bentuk-bentuk desain yang dihasilkan adalah bentuk yang sederhana (simple), bersih (clean), dan jelas (clear). Estetika mesin merupakan hasil penggabungan antara konsep seni dengan industri, yaitu kaidah-kaidah yang muncul dalam tuntutan rasionalitas industri. Nilai estetikanya mengacu baik pada bentuk mesin itu sendiri yang lugas, fungsional, tanpa ornamen atau dekorasi; sifat dan cara kerja mesin yang rasional dan efisien; serta pada benda-benda yang dihasilkan oleh sistem kerja mesin, yaitu sederhan, presisi dan terstandarisasi. Maka bentuk-bentuk desain yang dihasilkan adalah bentuk yang sederhana (simple), bersih (clean), dan jelas (clear).

    Estetika mesin merupakan hasil penggabungan antara konsep seni dengan industri, yaitu kaidah-kaidah yang muncul dalam tuntutan rasionalitas industri. Nilai estetikanya mengacu baik pada bentuk mesin itu sendiri yang lugas, fungsional, tanpa ornamen atau dekorasi; sifat dan cara kerja mesin yang rasional dan efisien; serta pada benda-benda yang dihasilkan oleh sistem kerja mesin, yaitu sederhan, presisi dan terstandarisasi. Maka bentuk-bentuk desain yang dihasilkan adalah bentuk yang sederhana (simple), bersih (clean), dan jelas (clear).
 
    Gelombang kebaruan pada pergantian abad yang dibawa oleh penemuan mesin, seolaholah menuntut suatu kebaruan gaya atau corak desain yang sama sekali baru dan tidak mengacu pada gaya-gaya yang sudah ada sebelumnya. Pemunculan Modernisme, yang didasarkan pda pendekatan-pendekatan yang rasional, fungsional dan terukur, serta di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran dan kejujuran, dianggap memenuhi pencarian gaya yang sesuai dan mampu mewakili semangat jaman modern ini (Zeitgeist = spirit of the age). Karenanya, dengan dasar asumsi bahwa semua kebutuhan manusia bisa dirasionalisasikan, desain modern harus mampu merupakan jawaban paling benar bagi semua persoalan desain yang muncul di semua tempat yang berlaku untuk semua orang di segala waktu (universal).

    Hal ini terlihat dari berbagai eksperimen desain yang dilakukan par tokoh Modernisme dalam mencari bentuk desain baku (type-form), yang didasarkan pada pandangan bahwa desain yang baik adalah desain yang dengan tegas mampu memenuhi satu fungsi utama saja, sehingga dengan demikian desain tersebut seakan-akan sudah tidak dapat atau tidak perlu dikembangkan lagi, karena yang selebih dari itu akan dianggap sebagai tidak esensial atau tidak efisien. 

    Memahami Modernisme memang bukan merupakan hal yang mudah, terlebih jika berasumsi bahwa Modernisme merupakan sebuah garya atau aliran yang tunggal, dan bisa dengan sederhana dan tegas ditunjukkan definisi serta batasan-batasannya. Dalam perkembangan sejarahnya ternyata Modernisme tidak selalu berjalan dalam garis sejarah yang lurus atau dengan pemahaman yang selalu seragam. Sejarawan arsitektur C. Norberg Shulz, dalam bukunya Meaning in Western Architecture, bahkan tidak menggunakan istilah “modern” dalam pembabakannya, melainkan menganggap bahwa paham yang dominan pada paruh pertama abad ini adalah “Fungsionalisme”.Dari situ dapat dipahami bahwa yang bernaung di bawah istilah Modernisme sebenarnya ada beragam aliran yang masing-masing memiliki penekanan khusus pada aspek gagasan tertentu, namun dengan tetap berpegang pada paradigma fungsi sebagai faktor determinan, serta fenome-na mesin sebagai sumber acuan. Perbedaan aliran-aliran itu terutama ditentukan oleh konteks sosio-historis masyarakat dan negara tempat aliran itu berkembang, serta pengaruh dari tokoh-tokohnya.

    Menurut Jencks, gagasan-gagasan yang muncul dalam arsitektur modern berkembang secara evolusioner dalam 6 tradisi politik, tanpa pernah benar-benar mengalami kepunahan namun sekadar mengalmi ‘pasang surut’ dan perubahan bentuk (transformasi), atau merupakan overlapping dari satu tradisi dengan tradisi lainnya. Secara ringkas keenam tradisi tersebuat adalah sebagai berikut:

a. Tradisi Idealis Merupakan sentral dari apa yang lazim kita kenal sebagai Modernisme. Gagasan-gagasan dalam tradisi ini sangat didasari oleh idealisme-idealisme, baik idealisme sosial maupun idealisme dalam mencapai kesempurnaan bentuk. 
b. Tradisi Kesadaran (Self Conscious) Tradisi ini mengutamakan idealisme seperti tradisi pertama, tapi dengan kesadaran yang sa-ngat berlebih-lebihan (hyperconscious), misalnya ada usaha untuk mencapai nilai keabadian melalui monumentalitas, atau penonjolan inovasi-inovasi teknologi. 
c. Tradisi Intuitif Penekanan gagasan dalam tradisi ini adalah pada kebebasan ekspresi, imajinasi, dan kreativitas individual. 
d. Tradisi Logis Ciri tradisi ini adalah dengan sistematika dan perhitungan yang sempurna berusaha mewujudkan utopi-utopi teknologis secara sangat rasional. 
e. Tradisi Ketaksadaran (Unself Conscious) Dinamakan demikian karena sikap dalam tradisi ini didasarkan pada sistem produksi massa atau pre-fabrikasi yang bukan lagi dikuasai manusia secara individu/personal. 
f. Tradisi Aktivis Gagasan-gagasan dalam tradisi ini sangat menekankan pada tujuan-tujuan sosial atau sebagai agen perubahan sosial. 










 





Komentar